Aksara Jawa Mangan Kacang

Aksara Jawa Mangan Kacang

Aksara telah dikenal di Nusantara selama seribu lima ratus tahun lebih. Aksara Jawa terdiri dari 20 karakter. Aksara Jawa juga dikenal sebagai Hanacaraka, Carakan atau Dentawyanjana penulisan Aksara Jawa
“ꦲꦤꦕꦫꦏ ꦢꦠꦱꦮꦭ ꦥꦢꦗꦪꦚ ꦩꦒꦧꦛꦔ

jika di tulis dalam dalam huruf latin “Hanacaraka Datasawala Padhajayanya Magabathanga“. Aksara ini adalah modifikasi dari aksara Kawi dan merupakan abugida. Hal ini bisa dilihat dengan struktur masing-masing huruf yang paling tidak mewakili dua buah huruf (aksara) dalam huruf latin. Aksara Jawa di anggap memiliki nilai Adi Luhung, memiliki kandungan mistis serta kesakralan, secara tidak langsung aksara Jawa ini mengandung filosofi untuk tujuan keilmuan.

Aksara Jawa adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari sekitar xx hingga 33 aksara dasar, tergantung dari penggunaan bahasa yang bersangkutan. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ atau /ɔ/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Jawa adalah kiri ke kanan. Secara tradisional aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata. namun umum diselingi dengan sekelompok tanda baca yang bersifat dekoratif.

Aksara ini digunakan dalam penulisan Bahasa Jawa, tetapi dalam perkembangannya juga digunakan untuk menulis beberapa bahasa daerah lainnya seperti bahasa Sunda, Madura, Sasak, dan Melayu, serta bahasa historis seperti Sanskerta dan Kawi. BentukHanacarakasudah di pakai dalam sastra maupun tulisan sehari-hari masyarakat Jawa sejak pertengahan abad ke-fifteen hingga pertengahan abad ke-20 dan dipakai pada masa Kesultanan Mataram abad ke-17, tetapi bentuk cetaknya baru muncul pada abad ke-19. Kemudian seiring berjalanya waktu penggunaan aksara Jawa umum digantikan dengan huruf Latin yang pertama kali dikenalkan Belanda pada abad ke-xix. Aksara Jawa resmi dimasukkan dalam Unicode versi 5.ii sejak 2009. Javanese adalah blok Unicode yang mengandung karakter Jawa untuk penulisan bahasa Jawa. Aksara Jawa ditambahkan ke Unicode Standard pada Oktober 2009 seiring dirilisnya versi 5.ii. Blok Unicode untuk bahasa Jawa adalah U+A980–U+A9DF. Terdapat 91 kode yang mencakup 53 huruf, nineteen tanda baca, 10 angka, dan 9 vokal. Sel abu-abu menunjukkan titik kode yang belum terpakai.

Saat sebagian besar masyarakat Jawa, terutama Orang Jawa sendiri pun banyak sekali yang tidak mengerti akan asal mula Aksara Jawa, dan sekarang sangat minim sekali yang ingin Belajar Aksara Jawa, bahkan sebagian besar tidak tahu bacaan atau bunyi dari satu Aksara. Hal ini terjadi karena banyak Generasi penerus yang kurang tertarik untuk mengetahui Sejarah di Negerinya sendiri. Hal tersebut tentu sangat mengkhawatirkan akan kelestarian Budaya Lokal dan di khawatirkan akan punah. Aksara ini masih diajarkan di DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat, sebagai bagian dari muatan lokal atau bahasa daerah, tetapi dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan sehari-hari.

Terdapat berbagai macam tafsiran mengenai makna filosofis dan esoteris yang konon katanya terkandung dalam urutan hanacaraka. Setiap Aksara Carakan memiliki makna keilmuan tersendiri, tergantung pada keyakinan atau tujuan keilmuan tersebut. Berikut adalah salah satu Tafrsir pada Aksara Carakan :

  • Aksara Ha
    artinya
    “hana hurup wening suci”

    yang berarti sebagai adanya hidup dalah kehendak dari Tuhan yang Maha Suci.
  • Aksara Na
    artinya
    “Nur Candra atau warsitaning Candara”
    yang berarti pengharapan yang dilakukan manusia agar selalu mengharapkan adanya sinar dari Ilahi.
  • Aksara Ca
    artinya
    “cipta weding, cipta dadi, ataupun cipta mandulu”
    yang berarti suatu arah dan tujuan yang diberikan oleh Sang Maga Tunggal.
  • Aksara Ra
    artinya
    “rasa ingsun handulusih”
    yang berarti cinta sejati adalah cinta yuang muncul dari cinta kasih dalam nurani.
  • Aksara Ka
    artinya
    “karsa ningsun memayu hayuning bawana”
    yang berarti sebuah hasrat yang ditujukan untuk sebuah kesejahteraan alam.
  • Aksara Da
    artinya “dumadining Dzat kang tanpa winangenan” yang berarti bahwa kita harus menerima kehidupan ini dengan lapang dada dan apa adanya.
  • Aksara Ta
    artinya “tatas, titis, tutus, titi lan wibawa” yang berarti sesuatu yang mendasar, totalitas dalam memandang sebuah hidup.
  • Aksara Sa
    artinya
    “suram ingsun handulu sifatullah”

    yang berarti pembentukan kasih sayang sebagaimana kasih yang berasal dari Tuhan.
  • Aksara Wa
    artinya
    “wujud hana tan kena kinira”
    yang berarti ilmu manusia yang hanya terbatas, hanya saja implementasinya sangat tidak terbatas.
  • Aksara La
    artinya
    “lir handaya paseban jati”
    yang berarti menjalankan hidup semata-mata hanya demi untuk memenuhi tuntutan Tuhan.
  • Aksara Pa
    artinya
    “papan kang tanpa kiblat”
    yang berarti hakihat Tuhan yang sejatinya ada tanpa arah.
  • Aksara Dha
    artinya
    “duwur wekasane endek wiwitane”
    yang berarti untuk bisa mencapai puncak harus dimulai dari dasarnya dahulu atau dari bawah terlebih dahulu.
  • Aksara Ja
    artinya
    “jumbuhing kawula lan gusti”
    yang berarti senantiasa berusaha demi mendekati Tuhan dan memahami kehendak dari Tuhan.
  • Aksara Ya
    artinya
    “yakin marang sembarang tumindak kang dumadi”
    yang berarti yakin terhadap ketetapan dan kudrat Ilahi.
  • Aksara Nya
    artinya
    “nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki”
    yang berarti memahami sunnatullah atau kodrat dari kehidupan ini.
  • Aksara Ma
    artinya
    “madep mantep manembah maring Ilahi”
    yang berarti adalah mantap di dalam menyembah Tuhan.
  • Aksara Ga
    artinya
    “guru sejati sing muruki”
    yang berarti pembelajaran kepada guru nurani.
  • Aksara Ba
    artinya
    “bayu sejati kang andalani”

    yang berarti menyelaraskan diri kepada gerak gerik dari alam.
  • Aksara Tha
    artinya
    “tukul saka niat”
    yang berarti segala sesuatu harus tumbuh dan diawali dengan niat.
  • Aksara Nga
    artinya
    “ngracut busananing manungso”
    yang berarti melepas ego pribadi pada manusia.

Asal Mula Aksara Jawa

Konon Katanya asal mula Aksara Jawa sangat erat kaitannya dengan Kisah Legenda Seorang yang bernama Aji Saka dan Dua Pengikutnya yang bernama Dhora dan Sembadha. Kisah Aji Saka sungguh merupakan mitos unik yang jarang ada duanya. Aji Saka dalam mitos jawa dikenal sebagai Pencipta aksara Jawa. Mitos khas ini bukan saja bisa menjadi folkore yang mengisahkan evolusi kebudayaan, lebih dari itu secara fonetik ia telah dikontruksikan sebagai simbol huruf yang memudahkan proses literasi dalam masyarakat.

Gambaran tentang kisah terjadinya atau terciptanya Aksara Jawa – Jowo Pedia

Sejarah Aksara Jawa

Sepanjang sejarahnya, Aksara Jawa ditulis dengan sejumlah media yang berganti-ganti seiring waktu. Aksara Kawi yang menjadi nenek moyang aksara Jawa umum ditemukan dalam bentuk prasasti batu dan lempeng logam. Tulisan Kawi sehari-hari dituliskan menggunakan media lontar, yakni daun palem tal (Borassus flabellifer, disebut juga palem siwalan) yang telah diolah sedemikian rupa hingga dapat ditulisi. Lembar lontar memiliki bentuk persegi panjang dengan lebar sekitar two,viii hingga 4 cm dan panjang yang bervariasi antara twenty hingga fourscore cm. Tiap lembar lontar hanya dapat memuat beberapa baris tulisan, umumnya sekitar empat baris, yang digurat dalam posisi horizontal dengan pisau kecil kemudian dihitamkan dengan jelaga untuk meningkatkan keterbacaan. Media ini memiliki rekam jejak penggunaan yang panjang di seantero Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Periode Hindu Budha

Aksara Jawa dan Bali adalah varian modern dari aksara Kawi, Aksara Jawa merupakan salah satu aksara turunan Brahmi di Republic of indonesia, salah satu aksara Brahmi hasil perkembangan aksara Pallawa yang berkembang di Jawa. Sejarahnya dapat ditelusuri dengan runut karena banyaknya peninggalan-peninggalan yang memungkinkan penelitian epigrafis secara mendetail. Akar paling tua dari aksara Jawa adalah aksara Brahmi di Bharat yang berkembang menjadi aksara Pallawa di Asia Selatan dan Tenggara antara abad ke-6 hingga eight. Aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi aksara Kawi yang digunakan sepanjang periode Hindu-Buddha Indonesia antara abad ke-eight hingga 15. Di berbagai daerah Nusantara, aksara Kawi kemudian berkembang menjadi aksara-aksara tradisional Indonesia yang salah satunya adalah aksara Jawa. Aksara ini dulu digunakan terutama untuk menulis terjemahan Sanskerta, berbagai literatur masa itu juga ditulis dengan Kawi. Tulisan ini kemudian bertransisi menjadi tulisan Jawa selama periode Hindu-Buddha.

Baca Juga :   Ciri Khusus Kalajengking

Aksara Kawi dan Jawa sebenarnya mirip, keduanya memiliki ortografi yang sama, seperti ditulis tanpa spasi, bentuk pasangan untuk menulis klaster konsona dan lainnya. Perbedaan terletak pada bentuk hurufnya, namun pembagiannya tidak begitu jelas karena prasasti-prasasti masa itu cendrung sangat bervariasi dari satu daerah ke yang lain. Aksara Kawi dan Jawa awal juga mempunyai aksara dasar (nglegena) yang lebih banyak, karena huruf murda sertamahaprana belum dibedakan seperti sekarang, dan merepresentasikan bunyi unik dalam Sansekerta. Aksara Jawa pada masa ini disusun secara fonetis, berdasarkan pengaturan Panini, dan menjadi basis dalam penyusunan aksara Jawa dalam Unicode.

Periode Islam

Pada abad ke-13, kertas mulai diperkenalkan di Nusantara, hal ini berkaitan dengan penyebaran agama Islam yang tradisi tulisnya didukung oleh penggunaan kertas dan format buku kodeks. Ketika Jawa mulai menerima pengaruh Islam yang signifikan pada abad ke-15. bersamaan ketika aksara Kawi mulai bertransisi menjadi aksara Jawa modernistic, kertas menjadi lebih lumrah digunakan di Jawa dan penggunaan lontar hanya bertahan di beberapa tempat. Terdapat dua jenis kertas yang umum ditemukan dalam naskah beraksara Jawa: kertas produksi lokal yang disebut daluang, dan kertas impor. Daluang (bahasa Jawa: dluwang) adalah kertas yang terbuat dari tumbukan kulit pohon saéh (Broussonetia papyrifera, disebut juga pohon glugu). Secara tampak, daluang cukup mudah dibedakan dengan kertas biasa dari warna cokelatnya yang khas dan tampilannya yang berserat-serat. Daluang yang dibuat dengan telaten akan memiliki permukaan yang mulus dan tahan lama dari macam-macam bentuk degradasi (terutama serangga), sementara daluang yang tidak bagus memiliki permukaan yang tidak rata dan mudah rusak. Daluang umum digunakan dalam naskah yang ditulis di keraton dan pesantren Jawa antara abad ke-16 dan 17.

Selama kurang lebih 500 tahun antara abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-20, aksara Jawa aktif digunakan dalam berbagai lapisan masyarakat Jawa sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra dengan cakupan yang luas dan beragam. Karena pengaruh tradisi lisan yang kuat, teks sastra tradisional Jawa hampir selalu disusun dalam bentuk tembang yang dirancang untuk dilantukan, sehingga teks Jawa tidak hanya dinilai dari isi dan susunannya, tetapi juga dari irama dan cipher pelantunan.

Pada silang waktu tersebut, banyak daerah Jawa yang saling terpencil dan sulit berkomunikasi antara satu sama lainnya, sehingga aksara Jawa berkembang dengan berbagai macam variasi dan gaya penulisan yang digunakan silih-bergantian sepanjang sejarah penggunaannya. Tradisi tulis aksara Jawa terutama terpupuk di lingkungan keraton pada pusat-pusat budaya Jawa seperti Yogyakarta dan Surakarta, tetapi naskah beraksara Jawa dibuat dan dipakai dalam berbagai lapisan masyarakat dengan intensitas penggunaan yang bervariasi antar daerah.

Di daerah Jawa Barat, semisal, aksara Jawa terutama digunakan oleh kaum ningrat Sunda, akibat pengaruh politik dinasti Mataram. Namun begitu, kebanyakan masyarakat Sunda pada periode waktu yang sama lebih umum menggunakan abjad Pegon yang diadaptasi dari abjad Arab. Sebagian besar tulisan sastra Jawa tradisional dirancang untuk dilantunkan dalam bentuk tembang, sehingga teks sastra tidak hanya dinilai dari isi dan susunannya, tetapi juga dari pelantunan dan pembawaan sang pembaca. Tradisi tulis Jawa juga mengandalkan penyalinan dan penyusunan ulang secara berkala karena media tulis yang rentan terhadap iklim tropis, akibatnya, kebanyakan naskah fisik yang kini tersisa merupakan salinan abad ke-18 atau xix meski isinya sering kali dapat ditelusuri hingga purwarupa yang beberapa abad lebih tua.

Pujangga sastra Jawa umumnya tidak dituntut untuk menciptakan cerita dan karakter baru, peran pujangga adalah untuk menulis dan menyusun ulang cerita-cerita yang telah ada ke dalam gubahan yang sesuai dengan selera lokal dan perkembangan zaman. Akibatnya, karya sastra Jawa seperti Cerita Panji bukanlah sebuah teks dengan edisi otoriter yang menjadi rujukan teks lainnya, melainkan kumpulan variasi cerita dengan benang merah tokoh Panji.

Genre sastra dengan akar paling kuno adalah wiracarita atau epos Sanskerta seperti Ramayana dan Mahabharata yang telah disadur sejak periode Hindu-Buddha dan memperkenalkan tokoh-tokoh pewayangan seperti Arjuna, Srikandi, Gatotkaca, dan puluhan karakter lainnya yang kini akrab dalam masyarakat Jawa. Sejak masuknya Islam di Jawa, tokoh-tokoh dari sumber Timur Tengah seperti Amir Hamzah dan Nabi Yusuf juga menjadi salah satu subjek yang sering dituliskan. Terdapat pula tokoh-tokoh lokal yang sering kali mengambil latar semi legendaris di Jawa masa lampau, misal Pangeran Panji, Damar Wulan, dan Calon Arang.

Aksara Jawa modern sebagaimana yang kini dikenal berangsur-angsur muncul dari aksara Kawi pada peralihan abad ke-14 hingga fifteen ketika ranah Jawa mulai menerima pengaruh Islam yang signifikan. Periode Islam ini kurang lebih berlangsung dari zaman Kesultanan Demak hingga Pajang akhir, dan teks dari masa tersebut dapat diwakili dengan serat Suluk Wujil dan Serat Ajisaka. Pada masa ini, diperkenalkan urutan pangram hanacaraka untuk memudahkan pengikatan twenty konsonan yang digunakan dalam bahasa Jawa. Perlu diperhatikan bahwa aksara murda dan mahaprana tidak diikutsertakan dalam urutan tersebut.

Hal ini disebabkan karena huruf huruf murda dan mahapranamerepresentasikan bunyi yang tidak ada dalam bahasa Jawa asli dan lebih banyak berfungsi dalam terjemahan Sansekerta, karena itu penggunaannya menurun semenjak perkenalan Islam. Namun kedua jenis huruf tersebut masih dipertahankan untuk pengejaan. Periode ini juga ditandai dengan ditemukannya aksara rekanuntuk kata serapan bahasa Arab, yang mulai banyak digunakan sejalan dengan penyiaran Islam di Nusantara. Pada abad 17, tulisan Jawa telah dikenal dengan nama Carakan. Periode ini adalah periode ketika aksara Jawa berkembang pada dekade awal perkembangan Islam di Jawa, dan campur tangan bangsa asing (pemerintah Kolonial Hindia Belanda) belum mendominasi ranah politik dan kekuasaan di Jawa.

Dalam periode ini, pengertian aksara Murda masih belum disamakan dengan huruf kapital seperti halnya dalam tulisan Latin, namun keberadaan aksara Murda yang dipisahkan dari susunan huruf Jawa dasar (nglegana) karena merupakan aksara lama yang keberadaannya tetap dipertahankan, dan penggunaan aksara ini masih sama seperti pada aksara Jawa – Hindu. Kemudian periode ini juga ditandai dengan digunakannya aksara rekan untuk menyesuaikan penulisan kata-kata Arab yang sudah mulai dikenal masyarakat Jawa kala itu dengan semakin intensifnya dakwah Islam di tanah Jawa.

Masa ini berlangsung kurang lebih jaman Demak – akhir Pajang, dan tulisan dalam periode ini diwakili tata tulis aksara Jawa yang terdapat pada teks Serat Suluk Wujil dan Serat Ajisaka. Fragmen tersebut terdiri dari four baris masing‐masing terdiri dari 5 aksara, menyerupai metrum atau puisi/Sekar Kawi :
Hanacaraka Datasawala Padhajayanya Magabathanga
:
“ꦲꦤꦕꦫꦏ ꦢꦠꦱꦮꦭ ꦥꦢꦗꦪꦚ ꦩꦒꦧꦛꦔ


  1. ꦲꦤ ꦕꦫꦏ

    :
    Hanacaraka
    – ana utusan – Ada utusan / ada dua utusan

  2. ꦢꦠ ꦱꦮꦭ

    :
    Datasawala
    – Datan Sawala, Setya Tuhu – Mereka berdua beradu kekuatan kesaktian

  3. ꦥꦢ ꦗꦪꦚ

    :
    Padhajayanya
    – Padha sakti, digdaya – Sama Saktinya dan Kuatnya

  4. ꦩꦒꦧꦛꦔ

    :
    Magabathanga
    – tewas, padha dadi bathange, awit ngugemi olehe setya tuhu – Mati, Sama sama jadi mayatnya, seimbang dan sama saktinya kuatnya.

Periode Kolonial

Periode ini adalah periode ketika aksara Jawa berkembang pada zaman pemerintah Kolonial Hindia Belanda berkuasa atas tanah Jawa, yang diwakili tata tulis aksara Jawa keluaran ejaan Sriwedari yang terdapat pada teks-teks Jawa yang ditulis sebelum adanya tata eja aksara Jawa Kongres Bahasa Jawa II Malang (1996). Perbedaan yang paling kentara adalah pemakaian aksara Murda pada periode ini, yang walaupun sebagian masih sama perlakuannya untuk aksara murda seperti pada periode-periode sebelumnya, namun sebagian sudah berubah fungsi sebagai huruf kapital layaknya dalam aksara Latin. Penggunaan (pengejaan) aksara Jawa pertama kali di Loka karyakan pada tahun 1926 untuk menyeragamkan tata cara penulisan menggunakan aksara ini.

Baca Juga :   Titik Didih Nh3

Sejalan dengan makin meningkatnya book cetakan menggunakan aksara ini, meskipun pada saat yang sama penggunaan huruf arab pegon dan huruf Latin bagi teks-teks berbahasa Jawa juga meningkat frekuensinya. Pertemuan pertama ini menghasilkan Wewaton Sriwedari (“Ketetapan Sriwedari”), yang memberi landasan dasar bagi pengejaan tulisan. Nama Sriwedari digunakan karena lokakarya itu berlangsung di Sriwedari, Surakarta. Salah satu perubahan yang penting adalah pengurangan penggunaan taling tarung bagi bunyi /o/ (O Jawa). Alih-alih menuliskan “Rongga warsita” (bentuk ini banyak dipakai pada naskah-naskah abad ke-19), dengan ejaan baru penulisan menjadi “Rangga warsita”, mengurangi penggunaan taling-tarung.

Ketika kajian mendalam mengenai bahasa dan sastra Jawa mulai menarik perhatian kalangan Eropa pada abad ke-19, timbullah keinginan untuk menciptakan aksara Jawa cetak agar materi sastra Jawa dapat mudah diperbanyak dan disebarluaskan. Upaya paling awal untuk menghasilkan aksara Jawa cetak dirintis oleh Paul van Vlissingen yang aksara Jawa cetaknya pertama kali digunakan dalam surat kabar Bataviasch Courant edisi bulan Oktober 1825. Meski diakui sebagai suatu pencapaian teknis yang patut dipuji pada masa itu, aksara Jawa cetak Vlissingen dinilai memiliki gubahan bentuk yang canggung, sehingga upaya awal ini kemudian diteruskan oleh berbagai pihak seiring dengan berkembanganya kajian sastra Jawa. Pada tahun 1838, Taco Roorda menyelesaikan fon cetak untuk aksara Jawa yang ia gubah berdasarkan langgam penulisan Surakarta dengan sedikit campuran elemen tipografi Eropa.

Rancangan Roorda disambut dengan baik dan dengan cepat menjadi pilihan utama untuk mencetak segala tulisan yang beraksara Jawa. Sejak itu, bacaan beraksara Jawa, dengan fon Jawa yang digubah Roorda, menjadi lumrah beredar di khalayak umum dan diterapkan pula dalam berbagai materi selain sastra. Hadirnya teknologi cetak menumbuhkan industri percetakan yang selama seabad ke depan menghasilkan berbagai macam bacaan sehari-hari dalam aksara Jawa, dari surat administratif, buku pelajaran, hingga media massa populer seperti majalah Kajawèn yang seluruh kolom dan artikelnya dicetak dengan aksara Jawa.

Pada tingkat pemerintahan, salah satu bentuk penerapan aksara Jawa adalah penggunaannya sebagai salah satu teks legal multi-bahasa dalam uang kertas Gulden yang disirkulasikan De Javasche Banking concern. Seiring dengan meningkatnya permintaan bacaan masyarakat pada awal abad ke-20, penerbit Jawa mengurangi produksi materi beraksara Jawa karena alasan ekonomis, mencetak materi apa pun dengan aksara Jawa pada waktu itu memerlukan dua kali lebih banyak bidang kertas dibanding mencetak materi yang sama dengan alih aksara Latin, sehingga produksi bacaan beraksara Jawa memakan lebih banyak waktu dan biaya. Dalam rangka menekan biaya dan menjaga agar harga buku tetap terjangkau bagi masyarakat, berbagai penerbit seperti Balai Pustaka kian mengutamakan penerbitan materi berhuruf Latin. Meskipun begitu, masyarakat Jawa di awal abad ke-20 cenderung tetap menggunakan aksara Jawa dalam berbagai aspek kehidupan.

Mesin Ketik Huruf Jawa
Mesin ketik Aksara Jawa yang pernah dipakai oleh Keraton Surakarta dari tahun 1917–1960 untuk surat-menyurat, membuat surat keputusan, dan pengumuman.

Dalam kegiatan surat-menyurat, misal, penggunaan aksara Jawa dianggap lebih halus dan sopan daripada penggunaan huruf Latin, terutama dalam surat untuk orang yang lebih tua. Berbagai penerbit, termasuk Balai Pustaka sendiri, tetap mencetak buku, koran, dan majalah dalam aksara Jawa karena adanya minat pembaca yang memadai meski perlahan-lahan menurun. Penggunaan aksara Jawa baru mengalami kemunduran yang signifikan ketika Jepang menduduki Republic of indonesia pada tahun 1942. Beberapa penulis melaporkan adanya aturan Jepang yang melarang penggunaan aksara Jawa dalam ranah publik, meski hingga kini belum ditemukan dokumentasi atau catatan resmi dari larangan tersebut. Namun tidak dipungkiri bahwa penggunaan aksara Jawa memang mengalami kemunduran yang signifikan pada zaman pendudukan Jepang. Program-program pendidikan pemerintahan yang baru didirikan setelah Republic of indonesia merdeka berfokus pada pendidikan Bahasa Republic of indonesia dan pemberantasan buta huruf Latin, sehingga penggunaan aksara tidak kembali sebagaimana semula pada periode pasca-kemerdekaan.

Bentuk Aksara Jawa

Aksara merupakan huruf dasar yang merepresentasikan satu suku kata. Aksara Jawa memiliki sekitar 45 aksara dasar, tetapi tidak semuanya digunakan dengan setara. Dalam perkembangannya, terdapat aksara yang tidak lagi digunakan sementara beberapa lainnya hanya digunakan pada konteks tertentu sehingga huruf-huruf dalam aksara Jawa dikelompokkan ke dalam beberapa jenis berdasarkan fungsi dan penggunaannya.

Sebagai contoh aksara Ha yang mewakili dua huruf yakni H dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata “hari”. Aksara Na yang mewakili dua huruf, yakni N dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata “nabi”. Dengan demikian, terdapat penyingkatan cacah huruf dalam suatu penulisan kata apabila dibandingkan dengan penulisan aksara Latin.

Penulisan Aksara Jawa Pada bentuknya yang asli, aksara Jawa Hanacaraka ditulis menggantung (di bawah garis), seperti aksara Hindi. Namun pada pengajaran modern menuliskannya di atas garis. Aksara Hanacaraka memiliki 20 huruf dasar, 20 huruf pasangan yang berfungsi menutup bunyi vokal, eight huruf “utama” (aksara murda, ada yang tidak berpasangan), 8 pasangan huruf utama, lima aksara swara (huruf vokal depan), lima aksara rekan dan lima pasangannya, beberapa sandhangan sebagai pengatur vokal, beberapa huruf khusus, beberapa tanda baca, dan beberapa tanda pengatur tata penulisan pada satu Huruf Dasar (Aksara Nglegena) Aksara Nglegena adalah aksara inti yang terdiri dari 20 suku kata atau biasa disebut Dentawiyanjana, yaitu:
Hanacaraka Datasawala Padhajayanya Magabathanga.

Gambar Hanacaraka – Jowo Pedia

Aksara Pasangan

Huruf Pasangan (Aksara Pasangan) Aksara pasangan dipakai untuk menekan vokal konsonan di depannya. Vokal inheren dari tiap aksara dasar dapat dimatikan dengan penggunaan diaktrik pangkon. Akan tetapi, pangkon normalnya tidak digunakan di tengah kata atau kalimat, sehingga untuk menuliskan suku kata tertutup di tengah kata dan kalimat, digunakanlah bentuk pasangan (ꦥꦱꦔꦤ꧀).

Berbeda dengan pangkon, pasangan tidak hanya mematikan konsonan yang diiringinya tetapi juga menunjukkan konsonan selanjutnya. Misal, untuk menuliskan mangan sega (makan nasi) akan diperlukan pasangan untuk “se” agar “northward” pada mangan tidak bersuara. Tanpa pasangan “s” tulisan akan terbaca manganasega (makanlah nasi).

Aksara Jawa Sandhangan

Aksara Jawa Sandhangan Memiliki 18 karakter Aksara Jawa Sandhangan yang dibagi menjadi 3 kategori yaitu Aksara Swara, Aksara Wyanjana, Sandhangan Panyigeg, Aksara Jawa Sandhangan adalah Sandhangan (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀) adalah sejenis aksara yang tidak dapat berdiri sendiri, melainkan merupakan tanda diakritik yang selalu digunakan bersama dengan aksara dasar.

Gambar Sandangan Aksara Jawa – Jowo Pedia

Ada tiga macam sandhangan, yaitu sandhangan suara yang berfungsi untuk mengubah vokal huruf dasar, layaknya harakat pada abjad Arab, sandhangan sesigeg (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦱꦼꦱꦶꦒꦼꦒ꧀, sandhangan akhir suku kata), dan sandhangan wyanjana (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦮꦾꦤ꧀ꦗꦤ, sandhangan tengah suku kata). Aksara Jawa Sandhangan berfungsi sebagai pengubah vokal huruf Aksara Jawa Carakan. Dengan demikian Aksara Jawa Sandhangan memiliki peran penting sebagai latihan awal untuk belajar membaca Aksara Jawa dan seterusnya dapat melanjutkan ke materi berikutnya.

Aksara Wyanjana

wyanjana (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦮꦾꦚ꧀ꦗꦤ) adalah aksara konsonan dengan vokal inheren /a/ atau /ɔ/. Sebagai salah satu aksara turunan Brahmi, aksara Jawa pada awalnya memiliki 33 aksara wyanjana untuk menuliskan 33 bunyi konsonan yang digunakan dalam bahasa Sanskerta dan Kawi. Bentuknya dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar Deret Kuno Aksara Wyanjana – Jowo Pedia

Sandhangan Wyanjana

Sandhangan wyanjana cakra, cakra keret, dan pengkal berfungsi untuk membentuk gugus konsonan -ra, -re, dan -ya (misalnya “kra”, “kre”, dan “kya”). Ketiga sandhangan ini awalnya adalah pasangan dari aksara ra, pa cerek, dan ya sebelum dikhususkan menjadi sandhangan tersendiri dalam ortografi Jawa mod. Sebagai sebuah pasangan, sandhangan wyanjana bersamaan dengan pasangan wa memiliki sifat panjingan (ꦥꦚ꧀ꦗꦶꦁꦔꦤ꧀), yaitu pasangan yang dapat menempel pada pasangan lain membentuk tiga tumpuk aksara.

Gambar Sandhangan Aksara Wyanjana – Jowo Pedia

Aksara Murda

Dalam perkembangannya, bahasa Jawa modern tidak lagi menggunakan keseluruhan aksara wyanjana dalam deret Sanskerta-Kawi. Aksara Jawa modern hanya menggunakan 20 bunyi konsonan dan 20 aksara dasar yang kemudian disebut sebagai aksara nglegena (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦔ꧀ꦭꦼꦒꦼꦤ). Sebagian aksara yang tersisa kemudian dialihfungsikan sebagai aksara murda (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦩꦸꦂꦢ). Dulu aksara murda hanya digunakan untuk menuliskan nama seseorang yang dihormati. Seiring perkembangan kajian-kajian penulisan dengan menggunakan aksara Jawa melalui kongres, tata cara penulisan aksara Murda juga mengalami perkembangan. Jika sebelumnya aksara murda hanya digunakan untuk menuliskan nama seseorang yang dihormati sekarang aksara murda dipakai dalam menuliskan awal kalimat dan kata yang menunjukkan nama diri, gelar, kota, lembaga, dan nama-nama lain yang kalau dalam Bahasa Indonesia kita gunakan huruf besar.

Baca Juga :   Jenis Olahan Pangan Setengah Jadi Dari Bahan Ikan Berupa
Gambar Aksara Murda dan Pasangan Murda Berperan ganda sebagai fonem /ha/ dan /a/ tergantung kata yang bersangkutan, ca murda hanya teratestasi dalam bentuk pasangan, bentuk aksara dasarnya merupakan rekonstruksi kontemporer, ra agung, memiliki fungsi yang serupa dengan aksara murda lainnya namun tidak dikenal secara luas karena penggunaannya yang terbatas di lingkungan kraton – Jowo Pedia

Berikut Aksara Murda serta Pasangan Murda, baik nama tokoh legenda (misal Bima ditulis ꦨꦶꦩ) maupun nyata (misal Pakubuwana ditulis ꦦꦑꦸꦨꦸꦮꦟ). Dari 20 aksara nglegena, hanya ix aksara yang mempunyai bentuk murda, oleh karena itu penggunaan murda tidak identik dengan penggunaan huruf kapital di dalam ejaan Latin, apabila suku kata pertama suatu nama tidak memiliki bentuk murda, maka suku kata kedua yang menggunakan murda. Apabila suku kata kedua juga tidak memiliki bentuk murda, maka suku kata ketiga yang menggunakan murda, begitu seterusnya.

Nama yang sangat dihormati dapat ditulis seluruhnya dengan murda apabila memungkinkan. Dalam penulisan tradisional, penerapan murda tidaklah selalu konsisten dan pada dasarnya bersifat pilihan, sehingga nama seperti Gani dapat dieja ꦒꦤꦶ (tanpa murda), ꦓꦤꦶ (dengan murda di awal), atau ꦓꦟꦶ (seluruhnya menggunakan murda) tergantung dari latar belakang dan konteks penulisan yang bersangkutan. Sisa aksara yang tidak termasuk nglegena maupun murda adalah aksara mahaprana. Aksara mahaprana tidak memiliki fungsi dalam penulisan Jawa mod dan hanya digunakan dalam penulisan bahasa Sanskerta-Kawi.

Aksara Swara

Aksara swara (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦱ꧀ꦮꦫ) adalah aksara yang digunakan untuk menulis suku kata yang tidak memiliki konsonan di awal, atau dalam kata lain suku kata yang hanya terdiri vokal. Pada awalnya, aksara Jawa memiliki 14 aksara vokal yang diwarisi dari tradisi tulis Sanskerta. Sandhangan swara (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦱ꧀ꦮꦫ) atau sandhangan vokal merupakan sandhangan yang paling umum. Terdapat sembilan sandhangan swara, tetapi vokal tertentu perlu ditulis dengan lebih daripada satu sandhangan. Hal ini terjadi pada sandhangan tarung. Sandhangan swara dapat digunakan bersama sandhangan wyanjana.Huruf Vokal Mandiri (Aksara Swara) Aksara swara adalah huruf hidup atau vokal utama: A, I, U, E, O dalam kalimat. Biasanya digunakan pada awal kalimat atau untuk nama dengan awalan vokal yang mengharuskan penggunakan huruf besar.

Gambar Aksara Swara – Jowo Pedia


Sandhangan

Swara

Selain Aksara Swara, penting juga untuk membedakanya dengan sandangan aksara Swara. berbeda dengan aksara swara yang bisa mandiri, maka sandangan aksara swara adalah bentuk huruf vokal yang tidak mandiri. Sandangan aksara swara digunakan ketika berada di bagian tengah dari kata. Di dalam sandangan akasara swara dibedakan berdasar cara membacanya.

Gambar Sandhangan Swara – Jowo Pedia

Sandangan aksara Swara tidak bisa bertindak atau dijadikan sebagai bentuk aksara pasangan. Apabila aksara Swara bertemu dengan konsonan pada akhir suku kata yang sebelumnya, maka sigegan tersebut harus dimatikan dengan pangkon. Aksara Swara bisa diberikan sandangan bernama wignyan, wulu, suku, cecak, dan lain sebagainya.

Sandangan dalam aksara jawa berarti suatu huruf vokal yang tidak bisa berdiri sendiri. Aksara sandangan biasanya digunakan di tengah kata. Dalam sandangan bisa dibedakan dengan cara bacanya.

Aksara Rékan

Aksara rékan (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦫꦺꦏꦤ꧀) adalah aksara tambahan yang digunakan untuk menulis bunyi asing. Aksara ini pada awalnya dikembangkan untuk menuliskan kata serapan dari bahasa Arab, kemudian diadaptasi untuk kata serapan dari bahasa Belanda, dan dalam penggunaan kontemporer juga digunakan untuk menulis kata-kata bahasa Indonesia dan Inggris. Sebagian besar aksara rékan dibentuk dengan menambahkan diakritik cecak telu pada aksara yang bunyinya dianggap paling mendekati dengan bunyi asing yang bersangkutan. Sebagai contoh, aksara rékan fa ꦥ꦳ dibentuk dengan menambahkan cecak telu pada aksara wyanjana pa ꦥ. Kombinasi wyanjana dan ekuivalen bunyi asing tiap rékan bisa jadi berbeda antarpenulis karena ketiadaan persetujuan bersama dan lembaga bahasa yang mengatur. Terdapat lima aksara rekan menurut Padmasusastra dan Dwijasewaya: “kha, dza, fa, za, gha” dapat di lihat pada gambar berikut :

Aksara Rekan dan Pasangannya - Jowo Pedia
Gambar Aksara Rekan – Jowo Pedia

Tetapi menurut Hollander, terdapat sembilan Aksara Rekan, seperti gambar berikut:

AKSARA REKAN

Masing-masing aksara Rékan memiliki penulisan yang berbeda, berikut rincianya:

  • Tidak semua aksara Rekan yang ada memiliki pasangan.
  • Hanya aksara rekan Fa saja yang memiliki pasangan, sedangkan yang lainya lain memiliki pasangan.
  • Aksara Rekan dalam praktiknya bisa saja diberikan pasangan.
  • Seperti aksara lain, Aksara Rekan bisa diberikan sandhangan

Aksara Bilangan

Aksara Jawa memiliki lambang bilangannya sendiri yang berlaku selayaknya angka Arab, tetapi sebagian bentuknya memiliki rupa yang persis sama dengan beberapa aksara Jawa, semisal angka 1 ꧑ dengan aksara wyanjana ga ꦒ, atau angka 8 ꧘ dengan aksara murda pa ꦦ. Karena persamaan bentuk ini, angka yang digunakan di tengah kalimat perlu diapit dengan tanda baca pada pangkat atau pada lingsa untuk memperjelas fungsinya sebagai lambang bilangan. Semisal, “tanggal 17 Juni” ditulis ꦠꦁꦒꦭ꧀꧇꧑꧗꧇ꦗꦸꦤꦶ atau ꦠꦁꦒꦭ꧀꧈꧑꧗꧈ꦗꦸꦤꦶ. Pengapit ini dapat diabaikan apabila fungsi lambang bilangan sudah jelas dari konteks, misal nomor halaman di pojok kertas. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:

Gambar Aksara Rekan – Jowo Pedia

Tanda Baca (Pratandha)

Tanda Baca (Pratandha) Dalam penulisan kalimat dalam Aksara Jawa dibutuhkan pula pembubuhan tanda baca, yang berbeda-beda dalam penggunaannya. Dalam pengajaran modern, tanda baca yang paling sering digunakan adalah pada adeg-adeg, pada lingsa, dan pada lungsi, yang masing-masing berfungsi untuk membuka paragraf (sebagaimana pillcrow), memisahkan kalimat (sebagaimana koma), dan mengakhiri kalimat (sebagaimana titik). Pada adeg dan pada pisèlèh umumnya digunakan untuk mengapit sisipan di tengah teks seperti kurung atau petik, sementara pada pangkat berfungsi seperti titik dua. Pada rangkap kadang digunakan sebagai tanda pengulangan kata yang dalam bahasa Republic of indonesia informal setara dengan penggunaan angka 2 untuk kata berulang (misal kata-kata ꦏꦠꦏꦠ → kata2 ꦏꦠꧏ).

Tanda Baca atau Pratandha Aksara Jawa
Gambar Pratandha – Jowo Pedia

Beberapa tanda baca tidak memiliki ekivalen dalam ejaan latin dan sering kali bersifat dekoratif, karena itu bentuk dan penggunaannya cenderung bervariasi antarpenulis, semisal rerenggan yang kadang digunakan untuk mengapit judul. Dalam surat-menyurat, seperangkat tanda baca digunakan di awal surat sebagai tanda pembuka dan kadang digunakan pula sebagai penanda status sosial dari sang pengirim surat; dari pada andhap yang rendah, pada madya yang menengah, hingga pada luhur yang tinggi.

Pada guru kadang digunakan sebagai pilihan netral yang tidak memiliki konotasi sosial, sementara pada pancak digunakan untuk mengakhiri surat. Namun perlu diperhatikan bahwa bentuk dan fungsi ini merupakan kaidah yang digeneralisasi. Sebagaimana rerenggan, tanda baca pemulai dan pengakhir surat dalam prakteknya bersifat dekoratif dan opsional, dengan beragam susunan bentuk yang bervariasi antara daerah dan juru tulis.

Ketika terjadi kesalahan dalam penulisan naskah, beberapa juru tulis keraton menggunakan tanda koreksi khusus alih-alih mencoret bagian yang salah: tirta tumétès yang ditemukan di naskah-naskah Yogyakarta, dan isèn-isèn yang ditemukan di naskah Surakarta. Tanda koreksi ini langsung dibubuhkan mengikuti bagian yang salah sebelum penulis melanjutkan dengan penulisan yang benar. Semisal seorang juru tulis ingin menulis pada luhur ꦥꦢꦭꦸꦲꦸꦂ namun terlanjur menulis pada hu ꦥꦢꦲꦸ sebelum ia sadar kesalahannya, maka kata ini dapat dikoreksi menjadi pada hu···luhur ꦥꦢꦲꦸ꧞꧞꧞ꦭꦸꦲꦸꦂ atau ꦥꦢꦲꦸ꧟꧟꧟ꦭꦸꦲꦸꦂ.

Aksara Jawa Mangan Kacang

Source: https://jowopedia.com/jawa/akasara-jawa/aksara-jawa/