Langkah Langkah Memahami Makna Puisi

Langkah Langkah Memahami Makna Puisi









Memahami Makna Puisi



Puisi ini digubah oleh penyair bukan hanya sekedar untuk dilihat, dan dibaca saja, tapi lebih dari itu.



Puisi itu digubah untuk dipahami. Dan apabila kta telah dapat memahami puisi maka muncullah apresiasi atau penghargaan dalam diri kita. Pada bagian ini kan dibahas, bagaiman sebenarnya memahami puisi itu. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan untuk memahami sebuah puisi. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:



Langkah pertama yang harus kita lakukan aalah membaca puisi iu. Membaca puisi berbeda dengan membaca prosa. Dalam puisi tidak dikenal (walaupun adakalanya ada juga, tapi sangat sedikit) tanda baca, sehingga kita dituntut untuk cermat dalam mengenal baris-baris yang ada dalam puisi. Memang kebanyakan puisi lama, setiap baris itu harus dibaca satu tarikan napas. Akan tetapi hal itu tidak pasti bisa diterapkan dalam membaca puisi-puisi bebas seperti yang kini banyak kita jumpai. Sebagai bahan pengamatan baiklah kita amati puisi berikut dibawah ini.


MATA

Coba bayangkan

Tanpa mata manusia

Seolah ia tanpa muka

Coba pikirkan

Manusia tanpa mata

Seperti alam tanpa rupa

( Bejo Purwadikarta)



Puisi diatas haruslah kita baca dengan urutan-urutan sebagai berikut:



1.




Coba bayangkan



2.




Tanpa mata



3.




Manusia



4.




Seolah



5.




Ia tanpa muka

Sedangkan bait kedua heruslah kit abaca sebagai berikut:



one.




Coba pikirkan



2.




Manusia tanpa mata



three.




Seperti alam



four.




Tanpa rupa

Untuk dapat memahami sebuah puisi, maka kita haruslah berusaha membaca puisi tersebut secara berulang-ulang. Sangatlah sukar apabila memahami sebuah puisi hanya dengan sekali saja membacanya. Perlu juga kita ketahui bersama bahwa banyak juga orang dalam usahanya memahmi puisi dengan jalan memparafrasekan puisi itu terlebih dahulu. Denagn jalan menambah kata-kata dalam baris-baris pada puisi, tanpa menghiraukan larik-larik puisi akan diperoleh juga pemahaman terhadap sebuah puisi. Langkah ini memang terasa mudah. Dapatlah kita katakana bahwa cara memparafrasekan puisi itu terlebih dahulu.itu merupakan langkah kedua dalam usaha kita memahami sebuah puisi. Maka dari itu baiklah kita perhatikan puisi berikut dibawah ini:

Baca Juga :   Amanat Puisi Buku


KARANGAN BUNGA

Tiga anak kecil

Dalam langkah malu-malu

Datang kesalemba

Sore itu

Ini dari kami bertiga

Pita hitam dalam karangan bunga

Sebab kami ikut berduka

Bagi kaka yang ditembak mati

Siang tadi

(Taufiq Ismail)



Marilah kita coba memparafrasekan puisi diatas.

(adalah) tiga (orang) anak kecil/dalam langkah (yang) mallu-malu (,) datang ke Salemba/(pada) sore itu (.) // (mereka bertiga berkata sambil menyerahkan sesuatu) (.)? “ini dari kami bertiga(,)/pita hitam pada (sebuah) karangan bunga (.)/(kami srahkan ini) (,) sbab kami ikut berduka / bagi kakak (kami) yang ditembak mati / (pada) siang tadi (.)”/



Dengan penambahan kata-kata pada puisi tersebut, maka nampaklah bahea puisi tersebut agak terasa lebih lengkap. Sehingga dengan emikian para frase dari puisi tersebut kurang lebih sebagai berikut:

“pada suatu sore, dtanglah tiga orang anak kecil ke Salemba dalam langkah-langkah yang malu-malu. Mereka bertiga menyerahkan sebuah karangan bunga yang berpita hitam sebahagi tanda ikut berduka cita terhadap kakak mereka, yang telah ditembak mati pada siang hari tadi”



Setelah kita mampu membaca puisi dengan baik dan berulang-ulang, maka langkan berikut adlah menyikap symbol-simbol/lambing-lambang yang terdapat pada puisi. Sekarang marilah kita mencoba mencari makna symbol yang terdapat dalam sebuah puisi. Untuk ini baiklah kaita ambil puisi Amir Hamzah yang brjudul “Padamu Jua’


PADAMU JUA

Habis kikis

Segala cintaku hilang terbang

Pulang kembali aku kepadamu

Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap

Pelita jendela dikamar gelap

Melambai pulang perlahan

Sebar, setia selalu

Satu kekasihku

Aku manusia

Rindu rasa

Rindu rupa

Dimana engkau

Rupa tiada

Suara sayup

Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu

Engkau ganas

Mangsa aku dalam cakarmu

Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gla sasar

Sayang berulang padamu jua

Engkau pelik menarik ingin

Serupa dara dibalik tirai

Kasihmu sunyi

Menynggu seorang diri

Lalu waktu-bukanlah giliranku

Mati hari-bukanlah kawanku….


Nyanyi sunyi, Amir Hamzah



Agar kita dapat memahami apa yang diungkapkan oleh Amir Hamzah dalam puisinya itu, kita harus mencoba mencari jawab siapakah yang dimaksud oleh Amir Hamzah dengan “aku” dab “engkau” itu? Sebab kedua kata ganti tersebut jelas merupakan symbol yang digunakan oleh Amir Hamzah. Apabila kita menganggap bahwa yang dimaksud oleh Amir Hamzah sendiri, maka kita telah berbuat sesuatu kekeliruan. Sebab apabila kit abaca bait ketiga berbunyi:

Baca Juga :   Alat Reproduksi Pada Tanaman Pinus Yang Berbentuk Runjung Disebut

Satu kekasihku

Aku manusia

Rindu rasa

Rindu rupa



Maka jelaslah bahwa “aku” itu bukanlah Amir Hamzah, melainkan manusia, manusia yang mempunyai rindu rasa dan rindu rupa. Bukanlah kita juga memiliki kedua hal tersebut?



Lalu siapa yang dimaksud dengan “engkau” oleh Amir Hamzah itu? Pada baris pertma bait ketiga ersebut berbunyi :

“satu kekasihku”



Mungkin disini kita menganggap bahwa yang dimaksud dengan “engkau” adalah kekasih manusia. siapakah kekasih manusia kalau bukan Tuhan? Tapi benarkah apabila yang dimaksud dengan “engkau” itu Tuhan? Untuk menjawab pertanyaan itu baiklah kit baca bait selanjutnya:

Dimana engkau

Rupa tiada

Suara sayup

Henya kata meranhkai hati



Sebagai seorang yang beragama, tentulah kita berkeyakinan bahwa Tuhan itu tidak dapat kita bayangkan rupanya.



Dengan bait ini kita seakan-akan yakin bahwa “engkau” itu adalah Tuhan. Sebab disitu ada kesan bahwa karena Tuhan itu tak dapat dilihat oleh manusia, maka dilambangkan dengan “rupa tiada”. Namun demikian kit abaca bait berikutnya:

Engkau cemburu

Engkau ganas

Mangsa aku dalam cakarmu

Bertukar tangkap dengan lepas

Sungguh naiflah bila Tuhan itu cemburu dan ganas. Tuhan itu maharahim dan maha pemurah. Suatu hal yang mustahil apabila Tuhan itu mempunyai sifat-sifat yang cemburu dan ganas. Lalu apakah “engkau” itu manusia yang mempunyai sifat-sifat tersebut atau sifat-sifat yang setia, dan selalu sabar? Seperti yang di ungkapkan oleh Amir Hamzah dalam bait kedua yang berbunyi:

Kaulah kandil kemerlap

Pelita jendela di malam gelap

Melambai pulang perlahan

Sabar, setia selalu.





Namun mengapa manusia mempunyai kekuasaan yang sangat kuat pada diri “aku” yang manusia juga? Coba, kita baca lagi allurement kelima tadi. Dalam bait ini Nampak bayangan betapa tak kuasanya “aku” dalam menghadapi kekuasaan “engkau” tersebut. Jadi, jelaslah bahwa yang dimaksud oleh Amir Hamzah dengan “engkau” adalah bukan manusia ataupun Tuhan. Jika demikian halnya, maka siapa gerangan yang dimaksudkannya?



Aku dan engkau adalah kekasih, yang menanti pertemuan kembali seperti dahulu. Pertemuan itu tak perlu bila bumi sudah tak beredar, tapi hanya menanti saatnya saja. Hal ini Nampak bahwa “engkau” yang melambai untuk mengajak pulang dan yang selalu setia dan sabar meski hanya seorang diri menunggu tak lain dan tak bukan adalah “maut”. Oleh Amir Hamzah maut itu diluiskan bagai orang yang melambai –lambaikan tangannya untuk mengajak “aku” (manusia) pulang kembali seperti dulu. Dan lewat kata “merangkai hati” penyair mengingatkan kedudukan manusia didunia ini.

Baca Juga :   Apa Jawaban Dari What Are They Talking About



Disinilah Nampak dengan jelas bahwa dengan usaha mencari ungkapan symbol yang digunakan oleh penyair dalam puisinya maka akhirnya kita akan dapat memahami apa yang sebenarnya dalam puisi itu.



Selanjutnya pada suatu hal yang perlu juga kita perhatikan bahwa adakalanya kita tak perlu menggunakan symbol-simbol yang ada dalam puisi. Sebab ada juga puisi yang tidak memerlukan pengungkapan symbol dalam memahaminya. Perhatikan sebuah puisi yang tidak menggunakan symbol yaitu puisi gubahan Ajip Rosidi yang berjuduk “Di Akuarium”


Di Akuarium

Kulihat ikan-ikan berenang, alanglah nyaman

Dan tenang hidup tanpa persoalan, betapa ingin

Aku menjadi ikan

Dari balik kaca, matanya cenburu memandang

Barangkali ingin menjadi manusia, menjadi aku

Yang pergi memancing di hari Minggu



Pada puisi tersebut yang dimaksud oleh Ajib Rosidi dengan akuarium adalah benar-benar akuarium yang biasa kita lihat sebagai tempat memelihara ikan, dan yang dimaksudkan dengan ikan itupun memang ikan yang sering kita lihat dalam akuarium. Lalu apa sebenarnya yang ingin di ungkapkan Ajip Rosidi dengan puisinya tersebut?



Suatu obyek yang sangat sederhana adakalanya dapat diungkapkan oleh penyair sebagai suatu hal yang menarik dan indah sehingga mampu menggugah hati kita. Hal ini namapak pada puisi Ajip Rosidi tersebut. Lewat pengamatan terhadap sekilas kehidupan kita, Ajip Rosidi ingin mengungkapkan bahwa kita hidup ini hanya “sawang-sinawang” saling melihat ke enakan hidup orang lain, meskipun orang lain pun melihat keenakan hidup kita.

Coba perhatikan baris pertama sajak Ajip Rosidi:

Kulihat ikan-ikan berenang, alangkah nyaman



Ia melihat bahwa kehidupan ikan merupaka suatu kehidupan yang sangat nyaman. Hal ini disukung dengan anggapan bahwa ikan itu hidup tanpa persoalan. Karna itulah maka ia menginginkan dapat hidup seperti kan.



Langkah Langkah Memahami Makna Puisi

Source: https://hanimaulidah.blogspot.com/2010/06/memahami-makna-puisi.html