Musta Ar Adalah
Musta Ar Adalah
Saat Nabi Muhammad diutus, bangsa Arab begitu menyukai sastra, mereka bersya’ir, berpuisi, dan merangkai kata-kata dengan susunan yang indah, hingga melombakannya. Yang menang, karya sastranya akan dipajang di dinding Ka’bah. Dengan keadaan yang seperti itulah Al-Qur’an diturunkan.
Ulama mengatakan Al-Qur’an adalah kitab sastra terbesar. Sampai detik ini tidak ada seorangpun yang mampu menandingi keindahan bahasa, susunan kata hingga kandungan maknanya. Artikel ini akan mencoba mengenalkan salah satu aspek keindahan bahasa Al-Qur’an, yaitu majaz
isti’arah
secara ringkas.
Definisi
Isti’arah
Kata
isti’arah
secara bahasa berasal dari kata
ista’ara-yasta’iru-isti’arah
yang berarti meminjam sesuatu. Adapun secara istilah, Sayyid Ahmad al-Hasyimi dalam kitab
Jawahir al-Balagah
(hal. 258) menyebutkan,
وفي اصطلاح البيانيين: هي استعمال اللفظ في غير ما وضع له لعلاقة المشابهة بين المعنى المنقول عنه والمعنى المستعمل فيه, مع قرينة صارفة عن إرادة المعنى الأصلي.
“Menurut para ulama sastra, isti’arah adalah menggunakan lafaz tidak sesuai dengan penggunaan asalnya karena adanya ‘alaqah musyabahah (hubungan keserupaan) antara makna yang dinukil dengan makna yang digunakan didalamnya, disertai adanya indikator yang menghalangi dari penggunaan makna asalnya (pertama) tersebut.”
Dari definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa majaz
isti’arah
itu merupakan majaz yang
‘alaqah
(hubungan) antara dua makna kata adalah
musyabahah
(serupa) dan diharuskan adanya
qarinah
(indikator) yang melatarbelakangi pengalihan makna tersebut. Dalam bahasa Republic of indonesia, majaz
isti’arah
terkadang dianggap sepadan dengan majas metafora.
Baca juga: I’Jaz Al-Qur’an Menurut Abdul Qahir Al-Jurjani, Ulama Penggubah Ilmu Balaghah
Tujuan penggunaan
Isti’arah
Ada beberapa faidah penggunaan majas
isti’arah
dalam berbahasa, di antaranya adalah sebagai berikut,
- Untuk memperindah ungkapan ketika berkata-kata, sehingga menarik perhatian lawan bicara dengan ungkapan-ungkapan yang indah tersebut
- Memancing lawan bicara untuk berpikir terkait makna ungkapan tersebut.
- Serta terkadang menggunakan
isti’arah
itu bisa menekankan makna dengan lebih kuat dari yang dimaksud oleh pembicara.
Misalnya menggunakan kata ‘singa’ sebagai ganti ‘orang yang berani’. Itu memberikan makna yang lebih kuat kepada para pendengar dan juga lebih menarik daripada jika diungkapkan secara apa adanya. Ungkapan bahwa ‘Soekarno adalah singa podium’ itu lebih kuat dan lebih menarik perhatian pembaca/pendengar daripada sekadar kalimat ‘Soekarno itu jago berpidato’.
Rukun
Isti’arah
Dari sedikit penjelasan dan contoh di atas, dapat dilihat kalau penggunaan majaz
isti’arah
itu memiliki tiga unsur penyusun,
-
musta’ar minhu, yakni kata yang dipinjam darinya atau disebut juga
musyabbah bih
(sesuatu yang digunakan untuk menyerupakan). -
musta’ar lahu,
yaitu kata yang dipinjam untuknya, disebut juga
musyabbah
atau (sesuatu yang diserupakan). - musta’ar, adalah makna yang dipindahkan. Lebih jelasnya akan dijelaskan bersama dengan contohnya dalam Al-Qur’an setelah ini.
Dalam kitab
al-Fawa’id al-Ghiyathiyyah fi ‘Ulum al-Balaghah
(157), dijelaskan bahwa
isti’arah
itu terjadi dengan penghapusan suatu kata dalam satu kalimat, ini nantinya terbagi menjadi dua macam. Jika yang disebutkan adalah
musyabbah bih
dan
musyabbah-nya dihapus maka ia disebut
isti’arah tashrihiyyah.
Adapun jika yang dihapus adalah
musyabbah bih
dan
musyabbah-nya disebutkan maka disebut
isti’arah makniyyah.
Baca juga: Balaghah Al-Quran: Seni Tata Krama dalam Bahasa Al-Quran
Contoh Penggunaan
Isti’arah
dalam Al-Qur’an
Ada beberapa ayat yang menggunakan majaz
isti’arah
dalam ungkapannya. Beberapa di antaranya adalah apa yang terdapat pada firman Allah QS. Ibrahim [14]: 1 berikut,
…كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ…
“…(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang benderang…”
Pada ayat di atas Allah ‘meminjam’ kata
al-zhulumat
(kegelapan) dan
al-nur
(cahaya) untuk mewakili makna kesesatan dan keimanan. Hal ini bisa dipahami karena jika dibaca secara tekstual, bagaimana mungkin sebuah kitab bisa mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya? Sedangkan buku tidak bisa menghasilkan cahaya. Ini adalah
qarinah
(indikasi) bahwa makna yang diinginkan pada ayat ini adalah makna majas bukan makna hakiki.
Maka sebagaimana disebutkan oleh al-Zuhaili dalam
al-Tafsir al-Munir
(vii/217) bahwa ayat ini memiliki kandungan balagah, yakni majas
isti’arah.
Maksudnya, kitab (Al-Qur’an) itu membimbing manusia agar keluar dari gelapnya kesesatan dan kekufuran menuju cahaya petunjuk serta keimanan.
Di sini kata
al-nur
dan
al-zhulumat
dipakai untuk menggantikan kata iman dan kekufuran. Sehingga dua kata ini disebut sebagai
musta’ar minhu
atau
musyabbah bih. Kata
al-nur
dipadankan dengan petunjuk dan keimanan, karena petunjuk dan keimanan itu seakan-akan memberikan cahaya bagi umat manusia, sehingga mampu melihat dunia dan mampu memilah mana yang baik dan mana yang benar.
Sebaliknya kegelapan digunakan untuk mewakili kesesatan dan kekufuran, karena keduanya membuat manusia menjadi buta terhadap dunia dan kebenaran, sehingga ia tidak tahu ke mana seharusnya berjalan dan sekadar mengikuti hawa nafsunya saja. Dari sini dapat dipahami bahwa
musyabbah
atau
musta’ar lahu-nya adalah iman dan kesesatan yang tidak disebutkan sehingga tergolong susunan kalimat
isti’arah tashrihiyyah.
Wallahu a’lam.
Baca juga: Tafsir Surat Ibrahim Ayat 1: Al-Quran sebagai penerang dari kegelapan
Musta Ar Adalah
Source: https://tafsiralquran.id/balaghah-al-quran-majaz-istiarah-dan-penggunaannya-dalam-al-quran/