Secara Tradisional Tolak Antropologi Berbeda Dengan Sosiologi Yaitu

Secara Tradisional Tolak Antropologi Berbeda Dengan Sosiologi Yaitu

Jika kita mencermati pandangan para teoretisi mengenai hakikat teks sastra, kita akan segera menyadari bahwa mereka tidak selalu sepakat mengenai sekumpulan teks yang kemudian disebut teks sastra. Teeuw (1991: 218-226) mem¬beberkan perbedaan-perbedaan persepsi para teoretisi dalam menjelaskan hakikat teks sastra itu. Selama kurun abad ke-20 ini teoretisi sastra memandang sastra sebagai suatu objek faktual (artefak) dengan membatasi teks sebagai suatu wilayah otonom yang terpisah dari pengarang dan pembaca. Program terkenal pandangan aliran otonomis ini terwujud dalam paham The Intentional Fallacy dan The Affective Fallacy yang dikemukakan Wimsatt & Beardsley (Lambropoulos, 1987: 103; Hartoko, 1986: 65). Paul Vallery dan Roman Ingarden meletakkan dasar pemahaman teks sastra pada tanggapan pembaca. Ingarden memelopori pan¬dangan ini dengan memperkenalkan konsep Leerstellen, the empty spaces, yakni ruang kosong dalam teks yang harus diisi oleh pembaca. Mukarovsky dan Vodicka mengembangkan konsep ‘konkretisasi’ untuk menciptakan kembali teks itu me¬lalui pembacaan kreatif untuk menjadi objek estetik. Kedudukan pembaca dalam menanggapi teks menjadi fokus perhatian teori-teori sastra. Berbagai dimensi tanggapan pembaca dirumuskan dengan berbagai sudut pandang dan asumsi epistemologis. Persoalan orisinalitas, jenialitas, kreativitas, dan individualitas yang menjadi tolok ukur kaum Romantik abad ke-19 dalam menilai teks sastra sebagai karya cipta seorang manusia pengarang, kini bergeser drastis. Rolland Barthes mengungkapkan bahwa teks sastra hanyalah mirage of commendation: bayangan belaka dari kutipan-kutipan, yang selalu mengelak dan menjadi tidak terjangkau apabila kita mencoba menjangkaunya (Culler, 1981: 102). Derrida menolak paham strukturalisme yang berpegang pada konsep mengenai signifie transcendental (makna transenden) dengan memperkenalkan konsep deferance untuk menekankan bahwa justru pembaca itulah yang harus menyusun teks sastra dengan mendekonstruksikannya ke dalam konsep yang lain. Menurut Derrida, tidak ada sesuatu di luar teks (Bertens, 1985: 491-502). Gambaran singkat ini menunjukkan alur perjalanan pemikiran teori sastra sejak abad ke-19 sampai abad ke-20. Teori sastra bermula dari anggapan bahwa pencipta ‘memiliki gaung jiwa yang agung’ (Wimsatt & Beardsley, 1987: 106). Studi sastra menjadi studi biografi pengarang. Pandangan ini kemudian disingkirkan oleh gerakan otonomi sastra. Dari teks yang otonom, tumbuh kesadaran mengenai ketidakmampuan bahasa sastra dalam menyajikan impian dan harapan, pengalaman dan kekecewaan manusia. Orientasi lalu bergerak ke arah pembaca yang diberi kebebasan penafsiran, mula-mula kebebasan relatif sampai kepada kebebasan mutlak untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi teks itu. ‘Puncak’ kesadaran teori sastra adalah tidak ada sesuatu di luar teks; tidak ada makna transendental di dalam teks sehingga pembaca itulah yang bertugas mengadakannya dengan membongkar dan menyusun teks. Apabila jagat teori sastra terkesan mengacaukan sedemikian itu, bagaimana seharusnya para intelektual ilmu sastra menyikapinya? Pembahasan dalam bab pertama ini mencoba memberikan beberapa konsep dasar tentang hakikat dan relevansi teori sastra dalam upaya menyikapi situasi tersebut.

Baca Juga :   Arti Lalampahan

Secara Tradisional Tolak Antropologi Berbeda Dengan Sosiologi Yaitu

Source: https://www.academia.edu/35358799/Pengantar_Teori_Sastra_pdf