Gerakan Tari Memungut Sampah
Gerakan Tari Memungut Sampah
KEBUTUHAN tanah/lahan di Republic of indonesia akan meningkat seiring pertumbuhan penduduk yang terus bertambah setiap tahun. Dari data BPS disebutkan pada tahun 1960, jumlah penduduk RI sebanyak 97.085.348 jiwa, di 22 Provinsi, dan 261 Kabupaten. Pada tahun 2022 jumlah penduduk menjadi
278.752.361 jiwa, di 37 Provinsi, dan 514 Kabupaten.
Akibat pertumbuhan penduduk dan penambahan pembangunan sarana prasarana pihak pemerintah, dan swasta sangat membutuhkan tanah, akibatnya tanah semakin menjadi mahal. Oleh karenanya konflik tanah semakin meningkat.
“Salah satu penyebab meningkatnya konflik tanah di Indonesia, karena pemerintah masih mengakui hak-hak barat yang berasal dari Hak
Eigendom, Hak
Erfpacht
dan Hak
Opstal, Hak
Gebruik, dan Hak
Vruchtgebruik, karena pemerintah masih memberikan hak-hak atas tanah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, dan diberikan ganti kerugian kepada bekas pemegang hak-hak barat,” ungkap Prof. Dr. B. F. Sihombing, S.H., M.H dalam pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Hukum Agraria/Pertanahan pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta, Kamis (28/9/2022)
Menurut Prof. B.F Sihombing, terdapat lima faktor penyebab konflik tanah hak-hak barat yang terus berlanjut di Indonesia sebagai berikut:Faktor Pertama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 Tentang Penghapusan Tanah Partikelir. Pada awalnya, jumlah luas tanah Partikelir adalah 2 juta Ha, dan 200.000 bidang yang di dalamnya ada Hak Barat, yang dimiliki orang Eropah, Timur Asing, dan Badan Hukum Asing.
Kemudian sejak tahun 1958, pemerintah mau menghapus menjadi tanah Negara, melalui cara: (1) Memberikan Sertipikat kepada pemiliknya, dan (2) Memberikan ganti kerugian kepada pemiliknya. Pada hal tanah partikelir, atau disebut juga tanah tuan tanah pada Zaman Belanda mempunyai hak-hak istimewa atau sering disebut juga Negara dalam Negara karena mereka mempunyai kekuasaan sebagai berikut:
ane. Mengangkat atau mengesahkan pemilikan serta memberhentikan kepala-kepala kampung atau desa, dan kepala-kepala umum.
2. Menuntut kerja paksa atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk.
3. Mengadakan pungutan-pungutan baik berupa uang atau hasil tanah dari penduduk.
4. Hak untuk mendirikan pasar, memungut biaya pemakaian jalan dan penyeberangan, dan
5. Hak-hak yang menurut peraturan lain dan/atau adat setempat.
“Anehnya pemerintah terhadap kepemilikan tanah partikelir atau tuan-tuan tanah ini juga mengandung d’exploitation de l’homme par fifty’homm” adanya pemerasan hak-hak rakyat pribumi masih memberikan sertipikat, dan ganti kerugian kepada pemiliknya berupa uang,” ucapnya.
Namun demikian, sejak tahun 1958-2022, atau 64 tahun pemberian sertipikat tanah, dan ganti kerugian kepada ahli waris belum tuntas, karena pemerintah tidak punya anggaran lagi untuk menyelesaikannya, sebab tidak lagi memungut Yayasan Dana Landreform (YDL).
Hal inilah yang menjadi banyak tumpang tindih, tanah partikelir dengan tanah yang sudah bersertipikat, belum bersertipikat yang digarap atau diduduki/didiami oleh masyarakat dan badan hukum.
Faktor Kedua yang menyebabkan adanya pengakuan hak-hak barat pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor five Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Peraturan ini merupakan kaidah hukum agraria/pertanahan. Namun anehnya ada kejanggalan antara konsiderans memutuskan menyatakan sepanjang hak-hak atas tanah yang ada di buku ke-2 Kitab Undang -undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak berlaku lagi, atau dicabut.
Padahal dalam ketentuan penutup dalam ketentuan konversi Pasal I-V masih mengakui keberadaan hak-hak tanah barat. Hal itu terlihat dalam pasal 9 ketentuan konversi dalam membuat peraturan, yaitu sejak tahun 1960-2022, atau 62 tahun pemerintah Republic of indonesia, masih mengakui keberadaan hak-hak barat, menjadi salah satu sumber konflik tanah hak-hak barat yang terus berlanjut.
Faktor Ketiga yang menyebabkan adanya pengakuan hak-hak barat, pada Peraturan Menteri Agraria (P.M.A) Nomor ii tahun 1960 Tentang Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria. Peraturan ini lahir atas amanat dari pasal 9 ketentuan- ketentuan konversi yang ada dalam U.U.P.A.
Peraturan inilah yang pertama memberikan atau membolehkan semua hak-hak barat dapat disertipikatkan. Sertipikat itu bisa berasal dari:
one. Hak Eigendom,
ii. Hak Opstal dan Hak Erfpacht dan,
3. Hak Gebruik, dan Hak Vruchtgebruik, dikonversi, bisa menjadi hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.
Kemudian, kalau dia telah menjadi Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, maka masa berlaku atau berakhirnya jatuh pada tanggal 24 September 1960. Ternyata sejak tahun 1960 sampai dengan 1980, atau 20 tahun, menjadi konflik tanah bekas hak-hak barat di Indonesia. Oleh karenanya pemerintah membuat peraturan lagi.
Faktor Keempat, setelah pemerintah melakukan identifikasi masalah maka diterbitkanlah Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 Tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.
“Anehnya peraturan ini hanya menyebutkan penyelesaian masalah tanah akibat konversi hak-hak barat ini, akan diselesaikan oleh Menteri Dalam Negeri dengan mendengar Menteri-Menteri yang bersangkutan. Dalam hali ini, seharusnya harus ada kalkulasi atau patokan perhitungan dari pemerintah mengenai berapa persentasi bagian dari masing-masing dari tiga pihak,” tutup Prof.Sihombing.
Untuk diketahui, sebelum menjadi Guru Besar tetap FH Universitas Pancasila ini, BF Sihombing muda merantau dari Siborongborong melanjutkan SMP, lalu ke Djakarta ambil SMA Persamaan, menamatkan S1 Hukum di Universitas I7 Agustus, mengambil Magister Hukum di Tarumanegara dan S3 Hukum di UI. Dia juga pernah menjadi pengacara, pensiun pejabat BPN, Dosen diberbagai Universitas, Ahli Pertanahan di Pengadilan. (OL-13)
Gerakan Tari Memungut Sampah
Source: https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/525971/konflik-tanah-hak-hak-barat-di-indonesia-terus-berlanjut-ini-penyebabnya