Bahasa Estetik Yang Ditafsirkan Sebagai Sampah Artistik Adalah

Bahasa Estetik Yang Ditafsirkan Sebagai Sampah Artistik Adalah

Ilustrasi: cangkang buku “Lupakan Postmodernisme”. Jean Baudrillard. Penerbit: Invensi Teks.

Sastra Republic of indonesia| Esai







Meminjam interprestasi Hidayat atas pemikiran Baudrillard dalam
Kebudayaan Postmodernisme Menurut Jean Baudrillard,
engkau (Hidayat) menyatakan bahwa wacana estetika postmodern, saat ini tak lebih sebagai wacana, di mana realitas kini telah kehilangfan dimensi rahasianya. Di dalam wacana yang sama dengan ini sebatang fisik boleh saja kehilangan dimensi seksualnya; laporan kehilangan dimensi maknannya; sementara itu sebuah karya seni kehabisan matra auranya.

Segala wacana termasuk referensi seni padanyatanya sekarang telah berburu jalannya seorang-sendiri dalam upaya menghindarkan diri dari keterjebakan dialektika makna, dialektika komunikasi, malar-malar dalam dialektika aktualisasi.

Apa yang dinyatakan sebagai estetika seni dalam wacana postmodern kini malah sengaja menjeburkan diri kerumahtanggaan huitan rimba citra-citra dan pertanda yang tanpa batas. Keadaan ini dapat kita tengarai dengan praktek seni postmodern yang aktual-nyatanya menghanyutkan makna-makna, mencadangkan batas ekstrimnya atau menghidangkan bahkan merayakan dimensi-dimensi yang sepanjang ini dinyatakan sebagai sebuah ketabuan, kecabulan, dan yang imoralitas. Estetika dalam wacana postmodern sekarang lain lagi mengacuhkan perbedaan yang indah dan yang buruk, tambahan pula dengan karuan estetika internal negeri baru ini menyerap nilai-nilai kebobrokan sebagai yang estetis.

Medium dalam kaitannya dengan model wacana seni, pada gilirannya wilayah baru ini dirayakan dengan berkembangnya bahasa estetik nan khas dan unik.

“Bahasa estetik seni postmodern yang tampil dalam stempel-tanda dan makna-makna nan bersifat lain stabil mendua dan berbagai ragam, disebabkan makanya diutamakannya permainan tanda, keterpesonaan puas penampakan dan diferensiasi, ketimbang makna-makna ideologis yang bersifat stabil dan abadi” (Piliang 1998 : 307).

Dengan mereduksi ataupun mengutip konsep pendahulunya Yasraf Amir Piliang Mengategorikan (konteks) bahasa estetik dalam kultur Postmodern dalam lima kategori, sebagaiman yang beliau tuliskan kerumahtanggaan bukunya
Hiperrealitas Kebudayaan
dan tulisannya yang dimuat intern Surat kabar Kebudayaan Zakar periode 1994 edisi 2. adapun bahsa estetik yang dimaksud merupakan;
Pastiche
(Fredric Jameson; Linda Huthceon; Umberto Eco);
Schizofrenia

(Jaques Lacan);
Camp
(Susan Sontag);
Kitsch
(Greenberg), dan Parodi (Mikhel Bakhtin; Linda Huthceon). Berikut akan dipaparkan konsep/rangka bahasa estetik postmodern tersebut diatas:

a. Pastiche:

dengan melebarkan pemikiran Hutcheon, Piliang mengklarifikasi
Pastiche

adalah sebagai bentuk imitasi murni tanpa ada pretensi barang apa-barang apa. Kalaupun ada perbedaan dengan teks yang dirujuknya, maka perbedaan tersebut “…dapat dianggap sebagai kemiripan. Bacaan
pastiche
 mengimitasi teks-teks zaman dulu, privat rangka mengangkat dan mengapresiasinya. Pastichemengambil bentuk-bentuk teks atau bahasa estetik dari ‘arwah jamannya’, dan menempatkanya ke dalam konteks ‘umur jaman’ masa kini.  dan  seperti nan dikatakan kritikus Amerika, Fredric Jameson,

“dengan menguraikan bahwa modernisme besar didasarkan pada gaya yang personal atau pribadi. Secara organik, estetika beradab gandeng dengan konsepsi diri otentik dan identitas personal yang dapat diharapkan berputra pandangan manjapada yang individual dan kalangan teoritis individualisme  bersifat ideologis. Subjek spesifik borjuis lain namun merupakan subjek masa lepas, tapi juga mitos, subjek yang enggak pernah benar-bermoral ada; hanya mistifikasi. Maka, di dunia di mana inovasi stilistik tidak sekali lagi boleh jadi, kata Jameson, nan tersisa hanyalah
pastiche.
Pastiche
pecah
pastiche,

imitasi gaya yang telah ranah, dapat dilihat dalam “gambar hidup-picture show nostalgia”. Gelagatnya kita bukan kembali bisa fokus pada mutakhir kita. Kita sudah kehilangan kemampuan memposisikan diri secara bersejarah. Sebagai publik, kita bukan pula dapat berurusan dengan waktu (Sarup, 2003: 257).

b. Schizofrenia:

dengan menggunakan teori Schizofrenia Lacan, sebagai gangguan bahasa; kekosongan jabang bayi dalam memasuki tenang ujaran dan bahasa secara utuh. “Menurut Lacan, asam garam temporalitas, usia manusia, masa adv amat, masa waktu ini, ingatan, dan bertahannya identitas personal yaitu dominasi bahasa. Kita boleh mengalami segala yang terlihat untuk kita merupakan pangalaman waktu substansial atau hidup, karena bahasa mempunyai perian adv amat dan masa depan. Hanya, karena hamba allah yang schizofrenik tidak tahu artikulasi bahasa dengan prinsip sedemikian itu, ia tidak mengalami pengalaman kontinuitas temporal seperti ytang kita alami, dan terbelenggu n domestik masa kini abadi yang tidak banyak berhubungan dengan masa tinggal dan t kala nanti. Dengan alas kata lain, pengalamn schizofrenia adalah camar duka penanda material yang terpisah, terisolasi, dan gagal membentuk rangkaian terintegrasi.

Dengan demikian, di satu sebelah, turunan schizofrenik mempunyai asam garam mutakhir dunia yang jauh lebih intens berasal pada kita, karena waktu kini kita selalu yaitu bagian berusul sejumlah perkariban rencana kian besar yang merangkum masa lalu dan masa depan. Di sebelah lain, orang nan Schizofrenik “bukan siapa-mungkin,” ia seimbang sekali enggak memiliki identitas personal. Selain itu, ia tidak melakukan apapun karena memilki rancangan berguna mengikatkan diri sreg kontinuitas tertentu dalam proses avontur tahun. Ringkas kata orang nan schizofrenik mengalami fragmentasi waktu, relasi wajtu yang abadi. Jameson mengatakan bahwa camar duka diskontinuitas temporal ini, seperti yang dipaparkan sebelumnya, muncul kerumahtanggaan karya-karya postmodern, seperti komposisi John Cage dan bacaan Samuel Backett (Sarup, 2003: 257-258).

c. Kitsch: sebuah istilah yang berakar dari bahasa Jerman
verkitchen

(baca: takhlik menjadi murahan), maupun
kitschen

secara lurus penting aktifitas memungut sampah berpunca jalan. Dengan sedemikian itu istilah kitsche dalam teks seni sering kali ditafsirkan andai sampah artistik, atau sering pula di definisikan sebagai bentuk selera tekor. Semenjana northward domestik
the Concise Oxford Ditionary of Literary Terms

(1990) yang dikutip Hidyat privat Distertasinya:
Tamadun Postmodern Menurut Jean Baudrillard, didefinisikan sebagai barang apa jenis seni haram (pseudo art) yang murahan serta tanpa selera.

Baca Juga :   Prosedur Atau Tahapan Penelitian Disebut Juga Dengan

Kitsche

dikatakan sebagai rancangan seni yang northward kepunyaan selera tekor dikarenakan lemahnya kandungan alias kreteria estetik nan dimilikinya. Walupun, kreteria pada sebuah penilaian keindahan/nilai estetis berlainan terbit satu jaman/tempat ke jaman/arena yang lainnya. Piliang  mengintai kitsche, sebagai strategi mensimulasi dan mengkopi elemen-partikel gaya dari seni tinggi atau sebaliknya dari obyek sehari-hari cak bagi kepentingannya koteng., yang diproduksinya berdasarkan atas semangat mendetimologisasi (baca: derita-massa-kan) seni panjang. Lakukan Greenberg keberadaan kitsche lega awalnya didorong oleh spirit reproduksi, dengan menggunakan produk konsumer sebagai bahan sah ikonik seni.

Kitsche

sebuah strategi n domestik melahirkan skor estetik, dengan kaidah mengimitasi buram, kecenderungan, atau obyek bagi menghadirkan biji kemustajaban palsu (misalnya; sebuah asbak berbentuk perkakas nada tertentu). Dalam seni postmodern, kitsche adalah yakni riuk satu kategori bahasa estetik yang silam dominan, sehingga postmodern kerumahtanggaan pengertiannya yang luas sering diidentikan dengan
kitsche. Karena postmodern sendiri sering dikatakan sebagai term yang miskin dengan kreteria estetik, makna dan orisinalitas. Justru Hal Foster menyebut estetika postmodern bak bentuk anti-estetik.

d. Camp: istilah bukan intern estetika postmodern yang bosor makan kali disalah artikan seperti mana kitsche. Camp berarti bentuk pencirian pada sebuah kecondongan plong sebuah kreasi (ke-artifisial-an). Camp sering kali menonjolkan pada tulang beragangan dekorasi, tekstur, rataan dan gaya dengan mengorbankan isi. Camp yakni susuk estetisme yang antagonistis alam. Lamun n domestik referensi- pustaka camp sering kali kelihatan memuat obyek-obyek manusia, satwa, alias tumbuh-tanaman, akan tetapi privat visualisasinya secara ekstrim ditampilkan lebih kurus, jangkung, ataupun gendut.

Privat prakteknya campsite memerosokkan pada pembedaan seksual, melainkan dahulu memestakan kerangka
androgini

serta
perversi,

(baca: kerangka peleburan manner dan citra genital yang referensinya tak jelas). Camp juga berati upaya-upaya menciptkan sesuatu yang asing biasa, berlebihan tunggal dan glamour. Karena privat campsite menjujung tinggi kevulgaran, maka camp diientikan bagaikan tulang beragangan
dandyism. Ciri terdahulu army camp adalah menjadikan kaidah artifisialitas bak idealisasi proses seni.

Baca Juga :   Lele Aksara Jawa

eastward. Travesti:
bahasa estetis yang digunakan bikin menjelaskan tata letak dalam karya sastra, seni ataupun arsitektur postmodern nan dalam prakteknya melakukan korting dari ciri singularis seorang pengarang, artis maupun tren tertentu dengan maksud menyisipkan adat homoristik sampai-sampai absurditas. Bilyet humor dan absurd ini ditampilkan dengan cara mendistorsi atau membuat plesetan dari yang asli. Peniruan gaya/ciri khas seseorang ini dengan maksud mengetengahkan sifat ironis, kritis, bahkan menciptakan muatan politis serta ideologis.

“…dengan mengutip Richard Poirier: Subtansi untuk seorang notulis tidak saja melingkupi realitas – realitas nan ia anggap ditemukannya; subtansi mengandung makin terbit sekedar realitas – realitas ini yang disediakan …literatur dan idiom – kata majemuk dari jamannya koteng dan … citraan yang masih memiliki vitalitas dalam  literatur masa lepas (Venturi, Brown & Izenour dalam Piliang, 1999 : 153).

*

Berpokok pemahaman di atas dapat disimpulkan, bahwa koteng sengarang, penulis, alias seniman dapat merumuskan perasaannya mengenai sebuah subtansi tidak harus mencari alias menciptakan sendiri ungkapan maupun simbol dengan sendiri, anda dapat saja mengimitasi huruf angka atau idiom subtansi yang diinginkannya dari referensi (karya) yang telah ada sebelumnya.

Parodi merupakan sebuah kawin rajah struktur antara dua teks. Sebuah  teks baru yang dihasilkan dengan merujuk pada teks sebelumnya nan bersifat serius, dengan barang bawaan politis tentunya. Pasemon adalah satu bentuk dialogisme tekstual (Bahktin), yaitu; dua teks atau lebih bertemu dan berinteraksi suatu selevel lain dalam bentuk dialog: dialog nan terjadi di dalam parodi ini nantinya akan memunculkan suatu gambar kritik serius, perang pena, travesti, debat, sense of humor atau hanya sekedar permainan ataupun lelucon bermula bentuk – bentuk nan cak semau. Berpangkal upaya menciptakan dialog sebagai halnya di atas secara lain sedarun referensi parodi selalu mengambil keuntungan dari bentuk, mode atau karya yang diimitasi, direduksi dan/atau yang didistorsikanya. Bahkan Bertambah berpokok itu, sebagai suatu bentuk teks parodi pun memperalat teks lain.

Bakhtin n domestik bukunya
The Dialogic Imagination

(1981) menyatakan parodi misal satu bentuk representasi, akan tetapi representasi yang lebih ditandai representasi oleh pelencengan, penyimpangan, dan ‘plesetan’   makna
__

representasi bawah tangan (false representation). Kebiasaan dan metoda privat menghasilkan pelencengan makna dan lelucon tersebut… sangat kaya dan beragam (Piliang, 1999 : 155)

Farik dengan pembacaan Bakhtin, Linda Huthceon melihat satire tidak amung menyodorkan reprentasi palsu dari memelencengkan referensi sebelumnya akan tetapi bikin Huthceon, satire  “…merupakan satu wacana untuk mempertanyakan juga subyek pencipta misal satu – satunya sumber makna. … upaya dialog dengan rekaman dan membangun kontemporer dengan merujuk selengkap tanda dengan pretensi ideologis” (Hidayat, 104: http://paucits. itb.ac.id/~eryan/eryandhsorg/ FreeArticles/Postmodernisme.html, on line diakses tanggal 10/12/02). Huthceon juga  menyebut prilaku seni (referensi intertekstualitas) yang seperti mana ini sebagai perwujudan dan penerapan neologisme atau transkontekstualisme. Karena baginya teks – wacana parodi diciptakan dengan mengkomposisikan berjenis-jenis referensi, gaya, allonym ciri khas karya atau artis nan pernah ada dan sifatnya serius. Operasi nan demikian yaitu usaha nan memerlukan metode dan kecerdasan tertentu sebagaimana nan diungkapkan Bakhtin. Dengan mengkomposisikan berbagai rupa teks travesti secara kodrati juga memadukan berbagai konteks karya (pustaka) yang ada, inilah yang dimaksudkan seumpama bentuk transkontekstual, di mana konteks nan diusung teks parodi mengalami distorsi, atau bahkan konteks berbunga bacaan – bacaan nan terkomposisi kerumahtanggaan parodi saling menetralisir, sehingga menjadi kabur makna nan disandangnya (inilah yang dinyatakan seumpama sebuah susuk intertekstualitas).

Baca Juga :   Jenis Jenis Teks Cerita Inspiratif

Nan menjadi catatan internal bahasa di atas adalah; fenomena estetik di atas hanya dapat dibaca dengan menerapkan multi disiplin ilmu, seandainya saja dengan menerapkan semiotika strukturan Saussurean tetapi nan akan kita temukan hanyalah kegagapan – kegagapan kita sendiri yang tidak kreatif membaca barang bawaan ideologis yang dikandung praktek seni semacam ini. Karena landasan epistemologi yang dibawa sudah farik dan justru bertolak pinggul. Seperti yang telah dibahas didepan bahwa bahasa/kode/tanda yang dapat dibaca dengan penerapan semiotika struktural ala Saussurean yaitu bahasa yang konvensional dalam koridor modernisme nan menjujung tinggi nilai – nilai otetisitas dan orisinalitas. Dengan begitu Huthceon, menyarankan pembacaan atas praktik seni postmodern yang sama dengan ini mudah-mudahan menggunakan ki perspektif multi disiplin, seharusnya nantinya pemahaman yang kita boleh berasal penerapan multi disiplin ini merupakan kesadaran yang komprehensif. Peristiwa ini dimaksudkan jika sesuatu dilihat dari berbagai sudut pandang maka nan terbantah adalah item yang obyektif bukan lagi particular
monofrem.

***

Dicuplik bermula:




Estetika Postmodernisme privat Rukyah Yasraf Amir Piliang.”

Skripsi Jurusan Seni dan Desain Programme Studi Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan Fakultas Sastra Perserikatan Negeri Malang. 2004

Oleh:
Sawir Wirastho

Bahasa Estetik Yang Ditafsirkan Sebagai Sampah Artistik Adalah

Source: https://www.duwus.com/22471/bahasa-estetik-yang-ditafsirkan-sebagai-sampah-artistik-adalah-2.html