Tembang Sinom Diciptakan Oleh Sunan
Tembang Sinom Diciptakan Oleh Sunan
Reporter : Eko Huda S
Dream –
Rombongan santri itu melintasi hutan jati di kawasan Tuban, Jawa Timur. Tiba-tiba mereka dicegat gerombolan begal. Kepala rombongan dipaksa menyerahkan uang dan harta yang dibawa. “ Kami cuma membawa gamelan,” kata pria bersurban dengan jubah putih yang memimpin rombongan santri.
“ (Penampilan) Kalian bukan wiyaga (pemain gamelan jawa)! Coba kalian mainkan gamelan itu. Kalau kalian bohong, bukan hanya harta kalian tapi nyawa kalian juga kami cabut!” bentak kepala garong yang bernama Kebondanu.
Rombongan mulai memainkan perangkat musik Jawa itu. Sang pemimpin rombongan melantunkan suluk dalam macapat dengan merdu. Suluk itu berisi pesan tasawuf yang dikenal dalam masyarakat Jawa dan Madura dan ditulis dalam bentuk puisi dengan metrum (tembang) tertentu seperti sinom, wirangrong, kinanti, smaradana, atau dandanggula.
Suluk itu begitu menggetarkan hati yang mendengar. Tak terkecuali para garong. Kaki Kebondanu seketika lemas, tubuhnya menggelosor ambruk ke tanah. “ Tobaaat….ampun. Hentikan tembang kalian!” teriak Kebondanu. Musik masih terus dimainkan. “ Tidak ada yang salah dengan tembang ini. Kalian mungkin terlalu banyak punya niat buruk dalam hidup,” kata sang pemimpin santri itu dengan nada tenang.
“ Saya nyerah….saya nurut perintah kisanak,” kata Kebondanu dengan tubuh menggeliat-geliat di atas tanah seperti cacing kepanasan.
Musik pun dihentikan. Kebondanu bernafas lega. Dengan tubuh yang masih lemah dia bersimpuh dan memohon kepada pimpinan rombongan untuk bersedia menjadi guru dan membimbing jalan hidupnya. Sang pimpinan rombongan memperkenalkan diri sebagai Susuhunan dari Bonang, sebuah desa di perbatasan Rembang, Jawa Tengah dengan Tuban di Jawa Timur. Para santrinya lebih mudah menyebut dia dengan Sunan Bonang. Sejak saat itu Kebondanu menjadi pengikut setia dan santri yang taat. Sunan Bonang memang dikenal sebagai penyebar Islam yang tak pernah lama menetap di satu wilayah. Beliau lebih sering mengembara dalam menyebarkan ajaran Islam di Tanah Jawa. Wajar jika muridnya banyak tersebar di berbagai wilayah. Kisah Kebondanu hanyalah salah satunya. Tak kalah penting juga peristiwa pencegatan Sunan Bonang oleh Berandal Lokajaya. Berandal ini mencegat Sang Sunan saat sedang berjalan sendirian. Mata hati Sunan yang sangat waspada, melihat bahwa Lokajaya hatinya dipenuhi dengan keinginan duniawi. “ Kalau kamu mau harta, ambillah emas yang ada di biji aren itu,” katanya kepada Lokajaya sambil menunjuk pohon aren yang berbuah butir-butir emas. Lokajaya terbelalak dan langsung memanen aren emas itu dan memasukkannya ke dalam kantong bajunya. Setelah semua emas terambil dia periksa kantongnya. Ternyata emas itu kembali menjadi biji aren. Sadar bahwa yang dirampok adalah orang yang punya ilmu tinggi, Lokajaya mengejar orang berjubah putih itu. Dia bersimpuh dan memohon agar diangkat menjadi murid sang Sunan.
Sunan Bonang menerima Lokajaya. Ternyata berandalan itu adalah putra Adipati Tuban, Tumenggung Wilatikta yang melawan kemewahan hidup sebagai anak pejabat. Dia layaknya seorang ‘robin hood’ Jawa, karena hasil rampokannya dia bagikan kepada rakyat miskin.
Berandal Lokajaya bernama asli Raden Said. Dia banyak menerima ilmu dari Sunan Bonang. Tak hanya ilmu keagamaan, namun juga seni tradisional yang digunakan Sunan Bonang untuk menyebarkan Islam. Di kemudian hari Lokajaya dikenal sebagai Sunan Kalijaga. ***Sejak lahir, Sunan Bonang hidup di lingkungan pesantren. Dia lahir dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim, pada 1465. Ayahnya, Raden Rahmat merupakan keponakan dari Ratu Dwarawati, permaisuri Raja Brawijaya 5. Brawijaya 5 merupakan penguasa terakhir kerajaan Majapahit (1293-1500). Sang Maharaja yang masih terhitung paman, memberikan tempat di Ujung Galuh (sekarang bernama Surabaya) kepada Raden Rahmat untuk mendirikan tempat belajar para santri (persantrian atau pesantren). Daerah itu bernama Ngampeldenta. Setelah pesantren berdiri, Raden Rahmat pun berjuluk Susuhunan Ngampeldenta. Atau para santri lebih sering mengucapkan dengan Sunan Ampel. Hidup di lingkungan santri, Raden Makdum (Sunan Bonang) tumbuh sebagai pemuda yang ilmu agamanya cukup mumpuni. Sunan Ampel kemudian mengirimnya belajar Islam lebih dalam ke Samudera Pasai (Aceh). Kepergian Raden Makdum ditemani Raden Paku, salah seorang santri yang ilmu agamanya juga cukup tinggi. Sepulangnya mereka belajar dan kembali ke Ampel, mereka mendapat tugas masing-masing. Raden Makdum memulai dakwah dari Bonang, sehingga mendapat gelar Sunan Bonang. Sementara Raden Paku kembali ke Gresik dan mendirikan pusat pendidikan Islam Giri Kedaton. Raden Paku akhirnya lebih dikenal sebagai Sunan Giri.Sejak muda, Sunan Bonang dikenal sebagai mubaligh handal. Fasih berbahasa Arab dan Melayu. Dia juga menguasai ilmu ushuluddin yang mengajarkan dasar agama, fiqih, tafsir Alquran, dan Hadis, serta tasawuf atau sufisme. Keluasan ilmu itulah yang membuatnya sangat arif dalam menyebarkan Islam.Menurut Dr.Abdul Hadi West.M, Budayawan Universitas Paramadina & Universitas Indonesia, karya-karya Sunan Bonang yang dijumpai hingga saat ini dikelompokkan menjadi dua : Pertama, suluk yang mengungkapkan pengalamannya menempuh jalan tasawuf dengan beberapa pokok ajaran tasawufnya. Ajaran ini disampaikan melalui ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam kebudayaan Arab, Persia, Melayu, dan Jawa. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain (Drewes 1968). Kedua, karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya. Bentuk semacam ini banyak dijumpai dalam sastra Arab dan PersiaSunan Bonang juga menulis sebuah kitab yang berisikan tentang Ilmu Tasawwuf berjudul Tanbihul Ghofilin. Kitab setebal 234 halaman ini sangat populer dikalangan para santri. Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Dia juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dia menambahkan sebuah elemen instrumen dalam gamelan jawa. Instrumen dari logam itu berbentuk seperti mangkuk terbalik dengan tonjolan bagian tengahnya. Instrumen yang kemudian diberi nama “ bonang” itu, saat dimainkan memiliki nuansa zikir mendorong kecintaan pada kehidupan transedental.
Sebuah warisan Sunan Bonang yang hingga kini masih sering dinyanyikan adalah tembang ” Tombo Ati” (Obat Hati).
Coba kita simak syair indah Tombo Ati, sebagai penyejuk hati kita :
Tombo ati iku limo perkarane
Kaping pisan moco Quran lan maknane
Kaping pindo sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang sholeh kumpulono
Kaping papat kudu weteng ingkang luwe
Kaping limo zikir wengi lingkang suwe
Salah sawijine sopo bisa ngelakoni
Mugi-mugi gusti Allah nyembadaniArtinya : Obat hati ada lima perkaranya.Pertama baca Quran dengan maknanya. Kedua, shalat malam dirikanlah.Ketiga, berkumpullah dengan orang sholeh. Keempat perbanyaklah berpuasa.Kelima, dzikir malam perbanyaklah. Salah satunya siapa bisa menjalani.
Semoga Allah mencukupi
Reporter : Sandy Mahaputra
Wali pencipta tembang ‘Padang Bulan’ dan ‘Cublak-cublak Suweng’. Pengaruhnya menyebar ke pelosok Nusantara.
Dream –
Malam itu, lapangan sebuah desa di Gresik mendadak sesak. Beberapa bocah dari berbagai usia memenuhi setiap sudut lapangan. Mereka kegirangan. Sesekali terdengar canda dan gelak tawa anak-anak.Bulan yang merah merekah di cakrawala menjadi saat tepat buat anak-anak berkumpul bermain. Ini sudah jadi kebiasaan sejak turun temurun setiap kali bulan purnama tiba.
” Yuk kita dolanan (bermain),” teriak salah satu bocah di tengah lapangan yang rumputnya hampir tandas karena terlalu sering diinjak.
Permainan pun dimulai. Sejumlah anak sepakat memecah menjadi dua kelompok: jadi pemburu dan obyek buruan. Kelompok yang diburu satu per satu berhamburan lari. Mereka mencari selamat dari kejaran pemburu. Caranya, harus berhasil berpegangan pada tonggak, batang pohon atau tiang yang telah ditentukan lebih dulu.
Sembari melakukan permainan yang disebut Jelungan itu, biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu “ Padang Bulan.”
“ Padang-padang bulan, ayo gage da dolanan, dolanane naning latar, ngalap padang gilar-gilar, nundang bagog hangatikar” .
Dalam bahasa Indonesianya kira-kira begini; ” Terang-terang bulan, marilah lekas bermain, bermain di halaman, mengambil manfaat dari terang benderang, mengusir gelap yang lari terbirit-birit” .Permainan yang mungkin hampir mustahil ditemukan di kota-kota besar ini bukanlah sekadar lari, bernyanyi dan tertawa. Ada sebuah makna luar biasa dalam pemainan sederhana itu. Yakni tentang ajaran tauhid dan tawakal kepada Allah SWT.
Sunan Giri, salah satu Walisongo yang berjasa dalam proses penyebaran Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa, adalah sosok di balik permainan Jelungan itu.
Ia menciptakan permainan itu untuk mendidik pengertian tentang keselamatan hidup, yakni apabila kita sudah berpegangan kepada agama Islam, maka akan selamat dari ajakan setan atau iblis yang dilambangkan sebagai pemburu. Sebaliknya, jika kita belum tawakal dan bertauhid ke Allah SWT, maka kita akan terus diburu iblis.
Sunan Giri juga membuat nyanyian untuk kanak-kanak yang bersifat pedagogi serta berjiwa agama. Di antaranya adalah berupa tembang dolanan bocah (lagu permainan anak-anak).
Seperti tembang “ Padang Bulan.” Adapun maksud dari tembang itu adalah agama Islam (bulan) telah datang memberi penerangan hidup, maka marilah segera orang menuntut penghidupan (dolanan, bermain) di bumi ini (latar, halaman) akan mengambil manfaat ilmu agama Islam (padang, gilar-gilar, terang benderang) itu, agar sesat kebodohan diri (begog, gelap) segera terusir.
Makna syiar agama Islam juga tersirat dari permainan serta tembang lain hasil kreasi Sunan Giri, seperti “ Cublak-cublak Suweng,” “ Gending Asmaradana,” ‘Turi-turi Putih” dan “ Pucung.”
Secara cerdik, Sunan Giri menggunakan kesenian dan unsur budaya dalam penyebaran Islam. Hasilnya?….
Makam Sunan Giri (Wikipedia)
two dari 3 halaman
Cara yang dilakukan Sunan Giri rupanya efektif meluaskan penganut Islam di tanah Jawa.Sunan Giri adalah pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Ia diperkirakan lahir di Blambangan (Banyuwangi) tahun 1.442 Masehi. Sunan Giri memiliki beberapa nama julukan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ketika wafat beliau dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.Beberapa babad menceritakan pendapat berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu, penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Maka ia dipaksa kakeknya (Prabu Menak Sembuyu) untuk membuang anak yang baru dilahirkannya itu. Lalu, Dewi Sekardadu dengan rela menghanyutkan anaknya itu ke laut atau Selat Bali sekarang ini.Ada versi lain menyebutkan pernikahan Maulana Ishaq-Dewi Sekardadu tidak mendapat respon baik dari dua patih yang sejatinya ingin menyunting Dewi Sekardadu (putri tunggal Prabu Menak Sembuyu, sehingga kalau jadi suaminya, merekalah pewaris tahta kerajaan). Ketika Sunan Giri lahir, untuk mewujudkan ambisinya, kedua patih membuang bayi Sunan Giri ke laut dengan cara dimasukkan ke dalam peti.Kemudian, bayi itu ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Ageng Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko Samudra.Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samudra untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut beberapa sumber, untuk belajar itu Joko Samudra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja di Pesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.Tak berapa lama setelah mengajar muridnya itu, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya beserta Maulana Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mulai mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa dia dulu dibuang.Di negeri Pasai, banyak ulama besar dari negeri asing yang menetap dan membuka pelajaran agama Islam kepada penduduk setempat. Hal ini tidak disia-siakan Raden Paku dan Maulana Makdum Ibrahim. Kedua pemuda itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak sendiri maupun kepada guru-guru agama lainnya.Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai Ilmu Laduni, yaitu ilmu yang langsung berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada bandingnya. Di samping belajar ilmu Tauhid, Raden Paku juga mempelajari ilmu Tasawuf dari ulama Islamic republic of iran, Bagdad dan Gujarat yang menetap di negeri Pasai.
Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden Ainul Yaqin kembali ke Jawa. Ia lalu…
iii dari three halaman
Raden Paku kemudian mendirikan sebuah Pesantren Giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, Giri berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa. Bahkan, pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi.Menurut Babad Tanah Jawa, murid-murid Sunan Giri bertebaran hampir di penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina dan lain-lain. Semua itu adalah penggambaran nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya.Keteguhannya dalam menyiarkan agama Islam secara murni sesuai ajaran Rasulullah melalui pendekatan seni budaya, membawa dampak positif bagi generasi Islam berikutnya. Dari Sunan Giri, kita belajar bagaimana mereka menyebarkan Islam secara unik.
Ia tak datang dengan kalimat-kalimat galak mengharamkan sesuatu, melainkan dengan kelembutan. Ia menggunakan seni budaya lokal untuk meraih simpati seluas-luasnya dari masyarakat Jawa. Dan, syiar itu terbukti efektif. (eh)
Tembang Sinom Diciptakan Oleh Sunan
Source: https://sepuluhteratas.com/kesenian-gending-sinom-dan-kinanti-diciptakan-oleh-salah-satu-dari-wali-songo-yang-bernama